Edisi 1815
Dunia itu kesenangan yang menipu
Di antara tipu daya Iblis adalah membuat manusia lupa dengan negeri yang sesungguhnya (akhirat) dan menjadikannya terpedaya dengan negeri yang penuh dengan senda-gurau (dunia).
Allah Ta’ala memperingatkan para hamba-Nya untuk sadar akan hal ini dalam banyak ayat, di antaranya (yang artinya):
“Dan kehidupan dunia ini tiada lain hanyalah main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kalian mau memahaminya?” (Q.S. Al-An’am : 32).
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Q.S Ali ‘Imran : 14).
Seringkali kenikmatan dunia itu menipu para pencarinya, ia terlihat indah sebelum dimiliki, namun terasa biasa-biasa saja ketika kita sudah mendapatkannya.
Ketika dahulu kita memimpikan untuk bisa menaiki sepeda motor favorit kita dan membayangkan betapa senangnya diri ini untuk mengendarainya, ternyata perasaan tersebut tidak bertahan lama. Waktu demi waktu motor tersebut tidak lagi menjadi yang istimewa, bahkan kita mulai melupakannya dan melirik motor lain yang lebih baik.
Begitu juga dengan pemuda yang memimpikan wanita idamannya. Seakan ia merasa kesempurnaan kehidupan di dunia akan tercapai ketika ia berhasil menikahi gadis tersebut. Ia berpikir bahwa semua keresahan dan kegalauan yang dihadapi selama ini akan segera teratasi. Hingga tibalah hari pernikahan yang membuat hatinya berbunga-bunga.
Akan tetapi, kesenangan tersebut tidaklah bertahan lama, hari demi hari ia mulai menyadari bahwa manusia tetaplah manusia, hingga terungkap bahwa istrinya adalah wanita biasa yang kelebihannya disertai dengan banyak kekurangan. Karena sejatinya istrinya hanyalah bagian dari kehidupan dunia yang jauh dari kesempurnaan.
“Segala kenikmatan dunia terlihat indah sebelum dimiliki, kan terasa biasa-biasa saja ketika telah didapatkan.” (Syarah Al-Wasail Al-Mufidah).
Maka patutlah ini menjadi renungan bagi penulis dan pembaca, karena kita sering mendapati manusia tertipu dengan hawa nafsu, melupakan perkara-perkara akhirat demi kesenangan di dunia.
Ia rela menghabiskan waktu untuk mengejar harta dan jabatan, bekerja siang dan malam sampai lelah, tapi melupakan kewajiban sholat 5 waktu. Ia mampu menghabiskan harta untuk membeli barang-barang mewah, tapi tak mampu menunaikan zakat yang hanya 2,5% saja dari hartanya.
Kehidupan dunia: waktunya singkat, nikmatnya fana
Fananya kehidupan dunia akan terasa ketika manusia pertama kali masuk ke surga dan neraka. Semua keburukan yang pernah kita hadapi di dunia ternyata benar-benar tidak sebanding dengan keburukan di neraka. Begitu juga dengan semua kenikmatan yang pernah kita rasakan di dunia, alangkah jauh perbandingannya dengan kenikmatan di surga.
Dari Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Didatangkan penduduk neraka yang paling banyak merasakan nikmatnya di dunia pada hari kiamat. Lalu ia dicelupkan ke neraka dengan sekali celupan.
Kemudian dikatakan kepadanya, ‘Wahai anak Adam, apakah engkau pernah merasakan kebaikan sedikit saja? Apakah engkau pernah merasakan kenikmatan sedikit saja?’ Ia mengatakan, ‘Tidak, demi Allah, wahai Rabb-ku.’
Didatangkan pula penduduk surga yang paling sengsara di dunia. Kemudian ia dicelupkan ke dalam surga denagan sekali celupan.
Kemudian dikatakan kepadanya, ‘Wahai anak Adam, apakah engkau pernah merasakan keburukan sekali saja? Apakah engkau pernah merasakan kesulitan sekali saja?’ Ia menjawab, ‘Tidak, demi Allah, wahai Rabb-ku! Aku tidak pernah merasakan keburukan sama sekali dan aku tidak pernah melihatnya tidak pula mengalaminya.’” (H.R. Muslim).
Maka pantaskah seorang manusia itu dikatakan berakal sehat jika semua usahanya di kehidupan dunia ini hanya ia arahkan dalam mengejar dunia saja?
Padahal, sekali celupan saja akan membuat semua yang ia usahakan tadi hilang seketika dari ingatannya. Dan bagaimana mungkin hati kita tidak tergerak untuk berusaha mengejar kenikmatan yang ada di surga, sementara semua keburukan yang pernah kita rasakan di dunia ini akan segera hilang hanya dengan sekali saja kita masuk ke dalam surga.
Terlebih lagi, sejatinya perjuangan yang kita lakukan di dunia ini hanyalah sebentar saja. Karena satu hari di akhirat sama dengan seribu hari di dunia. Sebagaimana yang Allah Ta’ala sebutkan (yang artinya),
“Sesungguhnya sehari disisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.” (Q.S. Al Hajj: 47).
Pengorbanan dalam bertakwa kepada Allah Ta’ala di kehidupan dunia kita ini tak pantas jika kita anggap melelahkan. Hendaknya kita terus mengingatkan diri bahwa semua kelelahan dan ujian yang memberatkan itu sebentar saja, dan kebahagiaan yang penuh keabadian sudah Allah Ta’ala siapkan bagi hambanya yang bertakwa.
Menggadaikan akhirat demi dunia?
Termasuk kebodohan yang nyata adalah ketika hawa nafsu dan Iblis terus mendorong kita untuk mengutamakan dunia dan melupakan akhirat, kemudian kita mengikuti mereka. Mari kita renungi sejenak bagaimana penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang surga:
”Ketahuilah bahwa apa yang Allah tawarkan sangat mahal, dan yang Allah tawarkan untuk kalian adalah surga.” (H.R. Tirmidzi).
Sementara itu, beginilah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyifati dunia:
“Seandainya dunia di sisi Allah sebanding dengan sayap nyamuk, maka Dia tidak memberi minum sedikit pun darinya kepada orang kafir.” (H.R. At-Tirmidzi).
Dan diceritakan ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang bersama dengan para sahabat radiyallahu ‘anhum, kemudian beliau menjumpai bangkai anak kambing yang kupingnya cacat, maka beliau mengatakan:
“Demi Allah, sungguh, dunia itu lebih hina bagi Allah daripada bangkai anak kambing ini bagi kalian.” (H.R. Muslim).
Kemudian Allah Ta’ala juga menegaskan perbandingan dunia dan akhirat dalam ayat-Nya (yang artinya):
“Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (Q.S. Al-A’la: 16-17).
Akhirat dikejar, dunia mengekor
Dan bukanlah sesuatu yang tercela jika dunia itu datang kepada kita. Alangkah baiknya jika kita mendapatkan dunia dengan cara yang elegan, dengan menjadikan tujuan terbesar kita adalah akhirat, maka dunia akan datang dengan sendirinya sesuai dengan apa yang Allah Ta’ala takdirkan, sebagaimana riwayat berikut:
“Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Barangsiapa akhirat menjadi tujuannya (niatnya), niscaya Allah akan menjadikan kekayaannya di dalam hatinya, Dia akan mengumpulkan segala urusannya yang tercerai-berai, dan dunia datang kepadanya dalam keadaan hina.
Dan barangsiapa dunia menjadi tujuannya (niatnya), niscaya Allah akan menjadikan kefakiran berada di depan matanya, Dia akan mencerai-beraikan segala urusannya yang menyatu, dan tidak datang kepadanya dari dunia kecuali sekadar yang telah ditakdirkan baginya.’” (H.R. Tirmidzi, no. 2465. Syaikh al-Albani menyatakan shahih lighairihi).
Dengan demikian, wahai kaum muslimin, marilah kita tingkatkan perhatian kita pada perkara-perkara agama yang akan mendekatkan kita kepada surga di akhirat kelak. Jangan biarkan tipu daya dunia membiarkan kita mengorbankan agama dan akhirat demi kesenangan sesaat.
Sebagai penutup, mari kita simak nasihat indah dari Ibnul Qoyyim rahimahullahu berikut:
“Pecinta dunia tidak akan terlepas dari tiga hal:
(1) kegelisahan yang senantiasa ada,
(2) keletihan yang berkesinambungan,
(3) penyesalan yang tiada pernah berhenti.” (Igatsatul Lahafan: 87).
Wallahu A’lam. Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammadin wa ‘alaa aalihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘Alamiin.
Penulis: Rafi Pohan (Alumnus Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)
Muroja’ah: Ustaz Abu Salman, B.I.S. Hafizhahullah